BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar belakang
Empiema merupakan komplikasi yang
paling sering dari pneumonia pneumokokus, yang terjadi sekitar 2 % dari semua
kasus. Meskipun telah ada antibiotik yang potensial, pneumonia bakterial masih
menyebabkan morbiditas dan mortalitas di Amerika. Setiap tahun angka kejadian
pneumonia bakterial diperkirakan sekitar 4 juta dengan rata-rata 20 %
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Karena sebanyak 40 % penderita yang
dirawat di rumah sakit dengan pneumonia bekterial memiliki efusi pleura. Efusi
terjadi akibat pneumonia merupakan persentase yang besar dari efusi pleura.
Angka morbiditas dan mortalitas pada penderita pneumonia yang disertai efusi pleura
lebih tinggi daripada penderita yang hanya menderita pneumonia saja.
Terdapat 91 kematian di rumah sakit di Indonesia, penyebab
utamanya adalah infeksi bakteri parah (49,5%), diare (13,2%), dan kurang gizi
(7,7%). Pneumonia atau empiema sebanyak 29 kematian di rumah sakit pada
kelompok kotri dan 39 persen pada kelompok plasebo. Apabila penerimaan di rumah
sakit dipertimbangkan berdasarkan penyebabnya, pneumonia/empiema adalah yang
paling utama, baik secara tunggal atau bersamaan dengan TB, malaria, dan kurang
gizi. Bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonela adalah bakteri
yang paling sering ditemukan dari biakan darah.
Meskipun tidak diketahui kapan sebenarnya emfiema dimulai,
namun tampaknya terjadi dalam beberapa tahun antara perubahan patofisiologi awal
dan onset timbulnya gejala. Karena secara klinik tidak mungkin untuk menentukan
apakah pasien menderita bronkitis kronis atau emfiema, dan pasien biasanya
memiliki beberapa keadaan yang ada pada keduanya, kriterianya akan ditampilkan
pada pembahasan mengenai asuhan keperawatan empiema.
1.2Tujuan umum
Memenuhi tugas Student Center
Learning Interactive Skill Station (SCL ISS) dari dosen pembimbing dan untuk
mengetahui secara garis besar mengenai sistem pernapasan dan gangguan, serta
asuhan keperawatannya.
1.3Tujuan Khusus
1.
Meningkatkan pengetahuan dan wawasan
tentang konsep dasar penyakit empiema.
2.
Meningkatkan pengetahuan mengenai
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan diagnostik
dan penatalaksanaan yang harus dilakukan pada penderita empiema.
3.
Memberikan gambaran asuhan keperawatan
secara teoritis kepada klien yang menderita empiema.
1.4Ruang Lingkup Penyusunan
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode deskriftif yaitu
dengan menggambarkan konsep dasar dari penyakit empiema dan asuhan
keperawatannya dengan literatur yang diperoleh dari buku-buku perpustakaan,
internet, dan diskusi dari kelompok.
1.5 Sistematika Penyusunan
Penyusunan makalah ini terdiri dari
IV (empat) bab yang disusun secara sistematis. Adapun sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB
I : Pendahuluan, yang
terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB
II : Landasan teoritis, yang
terdiri dari anatomi dan fisiologi sistem pernapasan, konsep dasar empiema,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan
diagnostik, dan penatalaksanaan.
BAB
III : Asuhan keperawatan, yang
terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, dan
evaluasi.
BAB IV
: Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi sistem
pernapasan
1. Pengertian
Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan
dasar manusia yang digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh
mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel. Sistem tubuh yang
berperan dalam kebutuhan oksigenasi terdiri atas saluran pernapasan bagian
atas, bawah, dan paru.
a. Saluran Pernapasan Bagian Atas
Saluran pernapasan atas berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan
udara yang terhirup. Saluran pernapasan terdiri dari:
1)
Hidung. Hidung terdiri atas nares
anterior (saluran dalam lubang hidung) yang memuat kelenjar sebaseus dengan
ditutupi bulu yang kasar dan bermuara ke rongga hidung dan rongga hidung yang
dilapisi oleh selaput lendir yang mengandung pembuluh darah. Proses oksigenasi
diawali dengan penyaringan udara yang masuk melalui hidung oleh bulu yang ada
dalam vestibulum (bagian rongga hidung), kemudian dihangatkan serta
dilembabkan.
2)
Faring. Faring merupakan pipa yang
memiliki otot, memanjang dari dasar tenggorok sampai esophagus yang terletak di
belakang nasofaring (di belakang hidung), di belakang mulut (orofaring), dan di
belakang laring (laringofaring).
3)
Laring (Tenggorokan). Laring
merupakan saluran pernapasan setelah faring yang terdiri atas bagian dari
tulang rawan yang diikat bersama ligamen dan membran, terdiri atas dua lamina
yang bersambung di garis tengah.
4)
Epiglotis. Epiglotis merupakan katup
tulang rawan yang bertugas membantu menutup
laring pada saat proses menelan.
b. Saluran Pernapasan Bagian Bawah
Saluran pernapasan bagian bawah berfungsi mengalirkan udara
dan menghasilkan surfaktan. Saluran ini terdiri dari:
1)
Trakea. Trakea atau disebut sebagai
batang tenggorok, memiliki panjang ± 9 cm yang dimulai dari laring sampai
kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima. Trakea tersusun atas 16-20 lingkaran
tidak lengkap berupa cincin, dilapisi selaput lendir yang terdiri atas
epithelium bersilia yang dapat mengeluarkan debu atau benda asing.
2)
Bronkus. Bronkus merupakan bentuk
percabangan atau kelanjutan dari trakea yang terdiri atas dua percabangan kanan
dan kiri. Bagian kanan lebih pendek dan lebar daripada bagian kiri yang
memiliki 3 lobus atas, tengah, dan bawah, sedangkan bronkus kiri lebih panjang
dari bagian kanan yang berjalan dari lobus atas ke bawah.
3)
Bronkiolus. Bronkiolus merupakan
saluran percabangan setelah bronkus.
4)
Alveolus. Alveolus itu terdiri atas
satu lapis tunggal sel epithelium pipih, dan disinilah darah hampir langsung
bersentuhan dengan udara. Suatu jaringan pembuluh darah kapiler mengitari
alveolus dan pertukaran gas pun terjadi.
c.
Paru
Paru merupakan organ utama dalam sistem pernapasan. Paru
terletak dalam rongga thoraks setinggi tulang selangka sampai dengan diafragma.
Paru terdiri atas beberapa lobus yang diselaputi oleh pleura parietalis dan
pleura viseralis, serta dilindungi oleh cairan pleura yang berisi cairan
surfaktan.
Paru sebagai alat pernapasan utama terdiri atas dua bagian,
yaitu paru kanan dan kiri. Pada bagian tengah organ ini terdapat organ jantung
beserta pembuluh darah yang berbentuk kerucut, dengan bagian puncak disebut
apeks. Paru memiliki jaringan yang bersifat elastis, berpori, serta berfungsi
sebagai tempat pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.
2. Proses Oksigenasi
Proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas/perfusi.
a.
Ventilasi
Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari
atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Ada dua gerakan
pernapasan yang terjadi sewaktu pernapasan, yaitu inspirasi dan ekspirasi.
Inspirasi atau menarik napas adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh
kerja otot. Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai ke
bawah, yaitu vertikal. Penaikan iga-iga dan sternum meluaskan rongga dada ke
kedua sisi dan dari depan ke belakang. Pada ekspirasi, udara dipaksa keluar
oleh pengendoran otot dan karena paru-paru kempis kembali, disebabkan sifat
elastik paru-paru itu. Gerakan-gerakan ini adalah proses pasif.
Proses ventilasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu
adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, adanya kemampuan thoraks
dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi, refleks batuk dan muntah.
b.
Difusi gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli
dengan kapiler paru dan CO2 di kapiler dengan alveoli. Proses
pertukaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya permukaan
paru, tebal membran respirasi, dan perbedaan tekanan dan konsentrasi O2.
c.
Transportasi gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2
kapiler ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler.
Transportasi gas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu curah jantung (kardiak
output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), eritrosit dan
Hb.
Bagaimana persarafan pada sistem
pernapasan?
Pada didning
bronkus dan bronkiolus terdapat sistem saraf otonom. Yang pertama adalah sistem
saraf parasimpatik, yaitu dengan reseptor muskarinik yang memperantarai respon
bronkikontriksi, vasodilatasi pulmonal, dan sekresi kelenjar mukus. Yang kedua,
sistem saraf simpatik, yaitu reseptor adrenegik alfa dan beta yang terdapt pada
eptelium bronkus, otot dan sel mast. Pada manusia reseptor β2 yang paling
banyak dijumpai diparu-paru. Injeksi atau inhalasi satu agonis β dapat
menyebapkan bronkodilatasi, vasokontriksi pulmonar, dan berkurangnya sekresi
kelenjar mukus.
Yang terakhir, ada inervasi sistem saraf nonadrenergik
non kolinergik (NANC) pada bronkiolus yang melibatkan berbagai mediator seperti
ATP, oksida nitrat, substance P, dan VIP (vasoactive Intestinal peptide).
Sistem NANC terlibat dalam respon penghambatan brokodilatasi, dan diduga
berfungsi sebagai penyeimbang terhadap fungsi pemicuan oleh sistem kolinergik.
2.2 Konsep
Empiema
A.
Pengertian
1.
EMPIEMA
adalah keadaan terkumpulnya nanah (pus) di dalam rongga pleura bisa setempat
maupun seluruh rongga pleura(Ngastiyah,1997)
2. EMPIEMA adalah penumpukan cairan terinfeksi (pus) pada
kavitas pleura(Diane C. Baughman,2000)
3. Empiema adalah penumpukan materi
purulen pada areal pleural (Hudak & Gallo, 1997)
4. EMPIEMA adalah kondisi dimana terdapatnya udara dan nanah
dalam rongga pleura yg dapat timbul sbg akibat traumatik maupun proses penyakit
lainnya
5. JADI KESIMPULANNYA EMPIEMA ADALAH suatu keadaan dimana di
dalam rongga pleura terdapat nanah(pus) sbg akibat dari infeksi bakteri akut,
akibat traumatik dari luar atau akibat komplikasi penyakit paru lain yg tidak
terkontrol.
B.
Etiologi
Terjadinya
empiema dapat melalui 3 jalur,yaitu :
Infeksi dalam paru
|
Infeksi dari luar paru
|
Bakteri
|
Pneumonia
|
Trauma thorax
|
Staphilococcus Pyogenes
|
Abses paru
|
Pembedahan otak
|
Streptococcus Pyogenes
|
Bronkiektasis
|
Amoebik liver abses
|
Bakteri gram
negatif
|
TB paru
|
Torasentesis pd pleura
|
Bakteri anaerob
|
Fistula bronko-pleura
|
Trauma tumor
|
|
Dan penyakit paru lain
|
Sufrenik abses
|
|
C.
Patofisiologi
Akibat
invasi basil piogenik ke pleura, maka akan timbul peradangan akut yang diikuti
dengan pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel polimorphonucleus (PMN)
baik yang hidup maupun yang mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan
menjadi keruh dan kental. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk
kantung-kantung yang melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus
bronkus maka timbul fistel bronkopleura, atau apabila menembus dinding toraks
dan keluar melalui kulit maka disebut empiema nessensiatis. Stadium ini masih
disebut empiema akut yang lama kelamaan akan menjadi kronis.
Patway Empiema
Insvansi kuman
pleura
Peradangan pleura
akut yang diikuti Dengan pembentukaneksudat serosa
Penumpukkan sel-sel
PNM yang mati bercampur dengan cairan pleura
Proses supurasi
mningkat tidak mampu di absorbsipleura
Akumulasi pus di
pakum pleura
Pengembangan
paru tidak optimal
Paru
G.I Tract
ekstremitas
psikososial
|
Mengikat,sesak nafas’
|
|
|
|
|||||||
D.
Manifestasi Klinis
Empiema dibagi menjadi dua
stadium yaitu :
1. Empiema Akut
Terjadi sekunder akibat
infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura. Pada permulaan, gejala-gejalanya
mirip dengan pneumonia, yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura.
Bila stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia,
anemia, dan clubbing finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul
fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai dengan batuk yang makin produktif,
bercampur nanah dan darah masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati
lemas).
Pada kasus empiema karena
pneumotoraks pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah keadaan pneumonianya
membaik. Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia, empiema
timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena baksil gram negatif seperti E. coliatau
Bakterioids sering kali menimbulkan empiema.
2. Empiema
Kronis
Batas yang tegas antara
empiema akut dan kronis sukar ditentukan. Disebut kronis jika empiema
berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Penderita mengeluh badannya terasa
lemas, kesehatan makin menurun, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya
tanda-tanda cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan
tertarik ke sisi yang sakit.
Tanda-tanda empiema :
1. Demam
dan keluar keringat malam.
2. Nyeri
pleura.
3. Dispnea.
4. Anoreksia
dan penurunan berat badan.
5. Pada
auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.
6. Pada
perkusi dada ditemukan suara flatness.
7. Pada
palpasi ditemukan penurunan fremitus.
a. Emphiema akut:
1. Panas tinggi dan nyeri pleuritik.
2. Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura.
3. Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan
menimbulkan toksemia, anemia, dan clubbing finger .
4. Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan
menimbulkan fistel bronco-pleural.
5. Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk
produktif bercampur dengan darah dan nanah banyak sekali.
b. Emphiema kronis:
1. Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan.
2.Badan lemah, kesehatan semakin menurun.
3.Pucat, clubbing finger.
4.Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan
pleura.
5.Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik
kearah yang sakit.
6.Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan.
E.
Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah
pengentalan pada pleura. Jika inflamasi telah berlangsung lama, eksudat dapat
terjadi di atas paru yang menganggu ekspansi normal paru. Dalam keadaan ini
diperlukan pembuangan eksudat melalui tindakan bedah (dekortasi). Selang
drainase dibiarkan ditempatnya sampai pus yang mengisi ruang pleural dipantau
melalui rontgen dada dan pasien harus diberitahu bahwa pengobatan ini dapat
membutuhkan waktu lama.
F.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Pemeriksaan Radiologi
-
Foto thoraks PA dan lateral didapatkan
gambaran opacity yang menunjukan adanya cairan dengan atau tanpa kelaina paru.
Bila terjadi fibrothoraks , trakhea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit
dan juga tampak adanya penebalan.
-
Cairan pleura bebas dapat terlihat
sebagai gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada posisi posteroanterior atau
lateral.
-
Dijumpai gambaran yang homogen pada
daerah posterolateral dengan gambaran opak yang konveks pada bagian anterior
yang disebut dengan D-shaped shadow yang mungkin disebabkan oleh obliterasi
sudut kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.
-
Organ-organ mediastinum terlihat
terdorong ke sisi yang berlawanan dengan efusi.
-
Air-fluid level dapat dijumpai jika
disertai dengan pneumotoraks, fistula bronkopleural.
2.
Pemeriksaan pus
Aspirasi
pleura akan menunjukan adanya pus di
dalam rongga dada(pleura). Pus dipakai
sebagai bahan pemeriksaan sitologi , bakteriologi, jamur dan amoeba. Untuk
selanjutnya, dilakukan jkultur (pembiakan) terhadap kepekaan antobiotik.
3.
Pemeriksaan
ultrasonografi (USG) :
-
Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya
septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
-
Pemeriksaan ini juga dapat membantu
untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan
pipa drain.
4.
Pemeriksaan CT scan :
-
Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan
adanya suatu penebalan dari pleura.
-
Kadang dijumpai limfadenopati
inflamatori intratoraks pada CT scan
5.
Sinar x.
Mengidentifikasi
distribusi stuktural,menyatakan
absesluas/infiltrate,empiema(strafilokokus).infiltrat menyebar atau
terlokalisasi(bacterial).
6.
GDA /nadi oksimetri.
Tidak normal
mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang
ada.
7.
Tes fungsi paru.
Dilakukan
untuk menentukan penyebab dipsnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal
adalah obstruksi atau restriksi,untuk memperkirakan derajat disfungsi.
8.
Pemeriksaan Gram/kultur sputum dan
darah
Dapat
diambil dengan biopsy jarum,aspirasi transtrakeal,bronkoskopi fiberoptik atau
biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.Lebih dari satu tipe
organisme ada: bakteri yang umum meliputi diplokokus pneumonia,strafilokokus aureus,A-hemolitik
streptokokus,haemophilus influenza:CMV.Catatan: kultur sputum dapat tak
mengidentifikasi semua organisme yang ada,kultur darah dapat menunjukkan
bakterimia sementara.
9.
EKG latihan,tes stress
Membantu
dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi program latihan.
G.
Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan Empiema
adalah sebagai berikut :
a. Pengosongan
nanah
Dilakukan pada abses untuk mencegah efek
toksiknya.
1. Closed
drainase-tube toracostorry water sealed drainase dengan indikasi
:
a. Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
b. Nanah terus terbentuk setelah dua minggu
c. Terjadinya Piopneumothorak
WSD dapat juga dibantu dengan penghisapan
negatif sebesar 10-20 cmH2O.Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan,
harus ditempuh cara lain seperti pada empiema kronis.
2. Drainase
terbuka (open drainage)
Dilakukan dengan menggunakan kateter karet
yang besar, oleh karena disertai juga dengan reseksi tulang iga.Open drainage
ini dikerjakan pada empiema kronis,hal ini bisa terjadiakibat pengobatan yang
lambat atau tidak adekuat,misalnya aspirasi yang terlambat/ tidak adekuat,
drainase tidak adekuat atau harus sering mengganti/ membersihkan drain.
b. Antibiotik
Antibiotik harus segera diberikan begitu
diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus adekuat. Pemilihan antibiotik
didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah.Pengobatan selanjutnya
bergantung pada hasil kultur dan sensivitasnya.Antibiotika dapat diberikan
secara sistematik atau topikal.Biasanya diberikan Penicillin.
c. Penutupan
rongga Empiema
Pada empiema menahun seringkali rongga
empiema tidak menutup karena penebalan dan kekakuan pleura.Pada keadaan
demikian dilakukan pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti.
1. Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar,
dilakukan dengan indikasi :
· Drain
tidak berjalan baik karena banyak kantong-kantong.
· Letak
empiema sukar dicapai oleh drain.
· Empiema
totalis yang mengalami organisasi pada pleura viseralis.
2. Torakplasti
Alternatif torakplasti diambil jika empiema
tidak kunjung sembuh karena adanya fistel bronkopleural atau tidak mungkin
dilakukan dekortikasi.Pada pembedahan ini segmen tulang iga dipotong
subperiosteal.Dengan demikian dinding thorak jatuh kedalam rongga pleura karena
tekanan atmosfir.
d. Pengobatan
kausal
Misalnya pada subfrenik abses dengan drainase
subdiafragmatika, terapi spesifik pada amoebiasis dan sebagainya.
e. Pengobatan
tambahan
Perbaiki keadaan umum, fisioterapi untuk
membebaskan jalan nafas.
Penanggulangan empiema
tergantung dari fase empiema, yaitu :
1. Fase
I (Fase Eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan
WSD dapat dicapai tujuan diagnostik terapi dan prevensi, diharapkan dengan
pengeluaran cairan tersebut dapat dicapai pengembangan paru yang sempurna.
2. Fase
II (Fase Fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih
agresif lagi yaitu dilakukan drainase terbuka (reseksi iga/ "open
window") . Dengan cara ini nanah yang ada dapat
dikeluarkan dan perawatan luka dapat dipertahankan. Drainase terbuka juga
bertujuan untuk menunggu keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih
tenang sehingga intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan. Pada fase
II ini VATS surgery sangat bermanfaat, dengan cara ini dapat dilakukan
empiemektomi dan/ atau dekortikasi.
3. Fase
III (Fase Organisasi)
Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi
agar paru bebas mengembang atau dilakukan obliterasi rongga empiema dengan cara
dinding dada dikolapskan (Torakoplasti) dengan mengangkat iga-iga sesuai dengan
besarnya rongga empiema, dapat juga rongga empiema disumpel dengan periosteum
tulang iga bagian dalam dan otot interkostans (air plombage), dan disumpel
dengan otot atau omentum (muscle plombage atau omental plombage).
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KASUS EMPIEMA
3.1 Pengkajian
1.
Anamnesis
Identitas
klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama/kepercayaan, suku bangsa, bahas yang dipakai, status pendidikan,
dan pekerjaan klien atau asuransi kesehatan.
2.
Keluhan Utama
Meliputi
ada tidaknya sesak nafas, rasa berat di dada saat bernafas dan keluhan susah
bernafas.
3.
Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien
sering merasa sesak nafas mendadak dan semakin lama semakin berat. Nyeri dada
dirasakan pada sisi dada yang sakit, rasa berat, tertekan, dan rasa lebih nyeri
saat bernafas. Perawqat harus mengkaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai
rongga dada seperti peluru yang menebus dada dan paru, ledakan yang menyebabkan
peningkatan tekanan udara dan pernah tidaknya terjadi tekanan mendadak di dada
sehingga menyebabkan tekanan di dalamn
paru meningkat. Selain itu kecelakaan
lalu lintas biasanya menyebabkan trauma
tumpul pada dada atau bisa juga karena tusukan benda tajam langsung menembus
pleura.
4.
Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu
ditanyakan apakah klien pernah merokok
atau terpapar polusi udara yang berat.
5.
Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu
ditanyakan apakah ada riwayat alergi pada keluarga.
PEMERIKSAAN
FISIK
a. Keadaan umum
: demam, berkeringat, pucat, compos mentis, ketakutan, gelisah, penurunan BB,
dispnea, lemah.
b. Pemeriksaan
TTV
RR : >24
x/mnt, Nadi : >100 x/mnt, TD : >120/70 mmHg, Suhu : >36,5 oC.
c. IPPA
:
-
Inspeksi
Pada klien dengan empiema, jika
akumulasi pus lebih dari 300ml, perlu diusahakan peningkatan upaya dan
frekuensi pernafasan, serta penggunaaan otot bantu pernafasan. Gerakan
pernafasan ekspansi dada yang asimetris( pergerakan dada tertinggal pada sisi
yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisis yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif
dengan sputum purulen. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
-
Palpasi
Taktil fremitus menurun pada sisi yang
sakit. Di samping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit. Pada sisi yang sakit ruang antar iga dapat
kembali normal atau melebar.
-
Perkusi
Terdengar suara ketok pada sisi sakit, redup sampai pekak sesuai banayknya
akumulasi pus di rongga pleura. Batas jantung terdorong ke arah torak yang
sehat. Hal ini terjadi apabila tekanan intrapleura tinggi.
-
Auskultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang
pada sisi yang sakit.
d. Pemeriksaan
B6:
1. B1
(breathing)
Nafas pendek batuk menetap dengan
produksi sputum, riwayat pneumoni berulang , episode batuk hilang timbul dan dispnea.
2. B2(
blood)
Perawat perlu memonitor dampak
pneumothoraks pada status kardiovaskuler, termasuk di dalamnya keadaan
hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan CRT.
3. B3(brain)
Saat melakukan inspeksi, tingkat
kesadaran perlu dikaji. Disamping itu, juga diperlukan pemeriksaan GCS. Apakah
compos metis, somnolen atau koma.
4. B4(bladder)
Pengukuran volume output urinr
berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor
adanya oliguria itu adalah salah satu tanda awal dari syok.
5. B5(
bowel)
Akibat sesak nafas klien biasanya
mengalami mual dan muntah penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan
(Anoreksia).
6. B6(
bone)
Pada trauma tusuk di dad sering didapatkan kerusakan
otot dan jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi. Klien dengan
trauma ini sering dijumpai mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari akibat adanya sesak nafas, kelemahan, keletihan fisik secara umum.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
10.
Pemeriksaan Radiologi
-
Foto thoraks PA dan lateral didapatkan
gambaran opacity yang menunjukan adanya cairan dengan atau tanpa kelaina paru.
Bila terjadi fibrothoraks , trakhea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit
dan juga tampak adanya penebalan.
-
Cairan pleura bebas dapat terlihat
sebagai gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada posisi posteroanterior atau
lateral.
-
Dijumpai gambaran yang homogen pada
daerah posterolateral dengan gambaran opak yang konveks pada bagian anterior
yang disebut dengan D-shaped shadow yang mungkin disebabkan oleh obliterasi
sudut kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.
-
Organ-organ mediastinum terlihat
terdorong ke sisi yang berlawanan dengan efusi.
-
Air-fluid level dapat dijumpai jika
disertai dengan pneumotoraks, fistula bronkopleural.
11.
Pemeriksaan pus
Aspirasi
pleura akan menunjukan adanya pus di
dalam rongga dada(pleura). Pus dipakai
sebagai bahan pemeriksaan sitologi , bakteriologi, jamur dan amoeba. Untuk
selanjutnya, dilakukan jkultur (pembiakan) terhadap kepekaan antobiotik.
12.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) :
-
Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya
septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
-
Pemeriksaan ini juga dapat membantu
untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan
pipa drain.
13.
Pemeriksaan CT scan :
-
Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan
adanya suatu penebalan dari pleura.
-
Kadang dijumpai limfadenopati
inflamatori intratoraks pada CT scan
14.
Sinar x.Mengidentifikasi distribusi
stuktural,menyatakan absesluas/infiltrate,empiema(strafilokokus).infiltrat
menyebar atau terlokalisasi(bacterial).
15.
GDA /nadi oksimetri.Tidak normal mungkin
terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
16.
Tes fungsi paru.Dilakukan untuk menentukan penyebab
dipsnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi,untuk memperkirakan derajat disfungsi.
17.
Pemeriksaan Gram/kultur sputum dan darah
Dapat
diambil dengan biopsy jarum,aspirasi transtrakeal,bronkoskopi fiberoptik atau
biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.Lebih dari satu tipe
organisme ada: bakteri yang umum meliputi diplokokus pneumonia,strafilokokus
aureus,A-hemolitik streptokokus,haemophilus influenza:CMV.Catatan: kultur
sputum dapat tak mengidentifikasi semua organisme yang ada,kultur darah dapat
menunjukkan bakterimia sementara.
18.
EKG latihan,tes stress
Membantu
dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi program latihan.
Analisis
Data
DS
: mengeluh sesak napas dan susah bernapas
DO :
DO :
-
Terlihat klien menggunakan otot bantu
pernapasan
-
Adanya cuping hidung
-
Demam, berkeringat, pucat, compos mentis, ketakutan,
gelisah, penurunan BB, lemah.
-
Takipnea, dispnea, batuk, pengembangan pernafasan tak
simetri, perkusi pekak, penurunan fremits, bunyi nafas menurun/ tak ada secara
bilateral atau uni lateral
-
RR : >24 x/mnt
-
Nadi : >100 x/mnt
-
TD : >120/70 mmHg
-
Suhu : >36,5 oC
Tabel Analisis Data :
Sign/Sympon
|
Etiologi
|
Problem
|
DS
: Klien mengeluh sesak napas dan susah bernapas
DO :
-
Terlihat klien menggunakan otot
bantu pernapasan
-
Adanya cuping hidung
-
Demam, berkeringat, pucat, compos mentis, ketakutan,
gelisah, penurunan BB, lemah.
-
Takipnea, dispnea, batuk, pengembangan pernafasan
tak simetri, perkusi pekak, penurunan fremits, bunyi nafas menurun/ tak ada
secara bilateral atau uni lateral
-
RR : >24 x/mnt
-
Nadi : >100 x/mnt
-
TD : >120/70 mmHg
-
Suhu : >36,5 oC
|
a.
Pneumonia
b.
Abses
paru-paru
c.
Bronkiektasis
d.
Infeksi
intraabdominal atau langsung dari pengotoran leura
e.
Tuberkulosis
f.
Jamur
aktinomikosis
g.
Emboli
metastasis dari fokus jauh
h.
Karsinoma
bronkogenik
i.
Osteomielitis
j.
Trauma
tembus
k. PPOM
l. Perokok berat
m. Imobilisasi fisik lama
n. Pemberian makanan melalui selang secara terus
menerus.
o. Obat-obat imunosupresif (kemoterapi, kortikosteroid).
p. Penyakit yg melemahkan (AIDS, kanker)
q. Menghirup atau aspirasi zat iritan
r. Terpapar polusi udara terus menerus
s. Terpasang selang intrakostal.
t. Penurunan tingkat kesadaran (stupor, letargi,
pra-koma, koma).
|
1. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas b/d peningkatan produksi sputum , obesitas.
2. Ketidakefektifan
pola nafas b/d dispnea, ansietas, posisi tubuh.
3. Nyeri
pleuretik b/d empiema.
4. Intoleransi
aktivitas b/d perubahan respon pernafasan terhadap aktivitas.
|
3.2 Diagnosa
keperawatan
Berdasarkan
pada semua data pengkajian, diagnosa keperawatan utama pasien dapat mencakup
yang berikut ini:
1. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas b/d peningkatan produksi sputum , obesitas.
2. Ketidakefektifan
pola nafas b/d dispnea, ansietas, posisi tubuh.
3. Nyeri
pleuretik b/d empiema.
4. Intoleransi
aktivitas b/d perubahan respon pernafasan terhadap aktivitas.
3.3 Perencanaan
dan Implementasi
1.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. peningkatan
produksi sputum, obesitas.
|
||
Tujuan : Setelah dilakukkan tindakan keperawatan 3x24
jam diharapkan pasien dapat
- Mengidentifikasi/menunjukkan
perilaku mencapai bersihan jalan napas.
- Menunjukkan
jalan napas paten dengan bunyi napas bersih, tidak ada dispnea, sianosis.
-
Mendemonstrasikan batuk efektif.
|
||
Rencana tindakan
|
Rasional
|
Respon hasil
|
1.
Kaji frekuensi atau
kedalaman pernapasan dan gerakan dada
2.
Auskultasi area
paru, catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi napas adventisius,
misalnya krekels mengi
3. Berikan cairan sedikitnya 2.500 ml/hari, tawarkan air
hangat.
4. Ajarakan metode batuk efektif dan terkontrol
5. Kolaborasi
Pemeriksaan sputum pasien di laboratorium
|
1.
Takipnea,
pernapasan dangkal, dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena
ketidaknyamanan gerakan. Gerakan dinding dada dan atau cairan paru.
2.
Penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi
dengan cairan. Bunyi napas bronchial (normal pada bronkus) dapat terjadi juga
pada area konsolidasi. Krekels, rongkhi, dan mengi terdengar pada inspirasi
dan atau ekspirasi pada respon terhadap pengumpulan cairan, secret kental,
dan spasme jalan napas/obstruksi
3.
Merangsang batuk
atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu
melakukan karena batuk tak efektif atau penurunan tingkat kesadaran
.
4.
Cairan (khususnya
yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret
5.
Batuk tidak terkontrol akan melelahkan klien.
Sputum yang di periksa guna untuk mengetahui adanya penyakit lain
|
1.
Tidak terjadi pernapasan cepat dan dangkal dan
tidak ada tarikan dinding dada
2.
Tidak terdapat suara nafas tambahan,(suara nafas
normal)
3. Intake cairan terpenuhi dan jalan
napas kembali bersih
4. Klien dapat melakukan batuk efektif
5. Tidak terdapat adanya penyakit
komplikasi lainya
|
2. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea, ansietas,
posisi tubuh
|
||
Tujuan dan
kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat:
- Menunjukkan pola pernapasan efektif, dibuktikan
dengan status pernapasan yang tidak berbahaya : ventilasi dan status tanda
vital
- Menunjukkan status pernapasan : ventilasi tidak
terganggu,
- Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas.
- Ekspansi dada simetris.
- Tidak adanya penggunaan otot bantu.
- Bunyi napas tambahan tidak ada.
- Napas pendek tidak ada.
|
||
Rencana tindakan
|
Rasional
|
Respon hasil
|
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan
otot aksesori, napas bibir, ketidakmampuan bicara.
2. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran
udara dan atau bunyi tambahan
3.Anjurkan klien untuk tidak memikirkan hal-hal yang
menyebabkan ansietas.
4. Pertimbangkan penggunaan kantung kertas saat ekspirasi
latih individu bernapas perlahan dan efektif
5. Kolaborasi
Pemberian oksigen dari dokter
Jaga posisi pasien agar tetap semifowler
|
1. Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan
atau kronisnya proses penyakit
2. Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara
atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus /
tertahannya secret.
3.Salah saut faktor penyebab hiperventilasi adalah
ansietas.
4. Meningkatkan kemampuan kontrol individu terhadap proses
ekspirasi
5. Agar pernapasan dapat berjalan dengan baik
Posisi semifowler
dapat mempermudah pasien dalam bernafas efektif
|
1.
Tidak adanya penggunaan otot bantu nafas, dan
tidak adanya disstres pernapasan
2.
Bunyi napas tambahan tidak ada
3.
Ansietas dapat diatasi
4.
Klien dapat melakukan ekspirasi secara optimum
5.
Klien merasa nyaman dengan posisi semi fowler dan
sirkulasi pernafasan
normal
|
3.
Nyeri pleuritik b.d empiema
|
||
Tujuan
dan kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakkan
keperawatan selam 3x24 jam , diharapkan pasien dapat:
Ø Mampu melakukan hubungan interpersonal.
Ø kepuasaan hidup / kemampuan untuk mengendalikan diri.
Ø Konsentrasi membaik
Ø Tidak
terjadi gangguan tidur.
Ø Nafsu makan membaik
|
||
Rencana
tindakan
|
Rasional
|
Respon hasil
|
1.
Kaji
Karakteristik nyeri, misal tajam, constan, ditusuk. Selidiki perubahan
karakter/ lokasi/ intensitas nyeri.
2.
Pantau :
- Suhu setiap 4 jam
- Hasil pemeriksaan SDP
- Hasil kultur sputum
3. Berikan
tindakan untuk memberikan rasa nyaman
Kolaborasi :
1.
Berikan analgetik
sesuai dengan anjuran untuk mengatasi nyeri pleuritik jika perlu dan evaluasi
keefektifannya
2. Konsul pada dokter jika nyeri dan demam tetap ada atau mungkin
memburuk.
3. Berikan antibiotik sesuai dengan anjuran dan evaluasi keefektifannya.
|
1.
Nyeri dada,
biasanya dada dalam beberapa derajat pada pneumonia seperti pericarditis dan
endokarditis.
2. Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau
penyimpangan dari sasaran yg diharapkan.
3.
Tindakan tersebut akan meningkatkan relaksasi.
1.
Analgesik membantu mengontrol nyeri dengan memblok
jalan rangsang nyeri. Nyeri pleuritik yg berat sering kali memerlukan
analgetik narkotik untuk mengontrol nyeri lebih efektif.
2.
Hal tersebut merupakan tanda berkembagnya komplikasi.
3.
Antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi, efek
maksimum dapat dicapai jika kadar obat dalam darah konsisten dan dapat
dipertahankan. Interaksi satu obat dgn yg lain dpt mengurangi keefektifan
pengobatan
|
1.
Tidak adanya lagi nyeri dada
2.
Suhu tubuh kembali normal (36-370C)
3.
Klien merasa nyaman
4.
Klien tidak lagi mengeluh nyeri
5.
Komplikasi tidak terjadi
6.
Tidak adanya infeksi pada organ tubuh lain
|
4. Intoleransi aktivitas b.d perubahan respon
pernapasan terhadap aktivitas.
|
||
Tujuan
dan kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat:
- Memeragakan metode batuk, bernapas, dan penghematan
energi yang efektif.
- Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat di
capai atau di pertahankan secara realistis.
|
||
Rencana
tindakan
|
Rasional
|
Respon hasil
|
1.
Jelaskan
aktifitas
dan faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
2.
Ajarkan program hemat energi
3.
Buat jadwal aktifitas harian, tingkatkan secara
bertahap
4.
Ajarkan teknik nafas efektif
5.
Pertahankan terapi oksigen tambahan
6.
Kaji respon abnormal setelah aktifitas
7.
Beri waktu istirahat yang cukup
|
1.
Merokok, suhu
ekstrim dan stres dan menyebabkan fasikonstriksi pembuluh darah dan
meningkatkan beban jantung
2.
Mencegah penggunanan energi yang berlebihan
3.
Mempertahankan pernapasan lambat dengan tetap
memperhatikan latihan fisik yang memungkinkan peningkatan otot batu
pernapasan
4.
Meningkatkan oksigenasi tanpa mengorbankan banyak
energi
5.
Mempertahankan, memperbaiki, dan meningkatkan
konsentrasi oksigen darah
6.
Respon abnormal meliputi nadi, tekanan darah gan
pernapasan yang meningkat
7.
Meningkatkan daya tahan klien, mencegah kelelahan
|
1.
Klien mengerti
mengenai efek samping merokok dan stress terhadap pembuluh darah
2.
Klien dapat mengontrol penggunaan energinya
sendiri
3.
Klien dapat melakukan aktifitas dengan normal
4.
Klien dapat melakukan teknik nafas efektiv
5.
Kebutuhan oksigen terpenuhi
6.
TTV normal
7.
Klien dapat kembali beraktivitas dengan baik
|
3.4 Evaluasi
NO
|
Evaluasi
|
1.
2.
3.
4.
|
S : klien mengatakan batuknya tidak
terjadi lagi
O : tidak ada batuk
A : teratasi
P : intervensi di hentikan
S : klien mengatakan dapat bernapas
dengan normal kembali
O : sesak napas tidak terjadi lagi dan
RR normal
A : teratasi
P : intervensi di hentikan
S : klien mengatakan dapat tidur
dengan nyaman dan tidak ada nyeri
O : klien tidur 6-8 jam per hari dan
terlihat relaks
A : teratasi
P : intervensi dihentikan
S : klien mengatakan dapat melakukan aktifitas dengan baik
O : klien terlihat dapat melakukan
aktifitas tanpa bantuan perawat
A : teratasi
P : intervensi dihentikan
|
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Empiema adalah suatu penyakit yang
menyerang sistem Respirasi, dimana Empiema adalah suatu gangguan pada paru-paru
karena terkumpulnya pus/nanah pada rongga pleura, yang dapat megisi satu lokasi
pleura maupun seluruh rongga pleura.
Penyebap empiema dibagi menjadi 3
berdasarkan asalnya yaitu yang berasal
dari paru-paru itu sendiri seperti Pneumonia dan abses paru, kemudian yang
kedua berasal dari adanya infeksi dari luar, misalnya trauma dari tumor, dan
pembedahan otak, yang terakhir berasal dari bakteri, misalnya Streptococcus
pyogenes, bakteri gram negative, dan bakteri anaerob.
Penatalaksanaan Empiem dapat berupa
intervensi keperawatan maupun medis. Selain itu dapat juga dari kolaborasai
dengan tim kesehatan yang lainnya.
Mengetahui konsep asuhan keperawatan Empiema dan
konsep Empiema itu sendiri sangat penting untuk mengetahui tindakan apa yang
sebaiknya dilakukan baik oleh perawat maupun tim kesehatn lainya.
4.2 Saran
Kepada
tim kesehatan, terutam perawat diharpakan untuk lebih mencermati keadaan pasien
sebeluh dan sesudah melakukan tindakan. Kesalahan kecil, dapat berimbas kepada
kesalahan-kesalahan yang lain.
Memperluas
wawasan mengenai konsep asuhan keperawatan yang tepat terhadap berbagai
penyakit, dalam hal ini penyakit yang menyerang sistem Respirasi, menjadi hal
yang wajib untuk diketahui dan dilakukan oleh perawat professional.
DAFTAR
PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Pernfasan. Jakarta : Salemba Medika.
Dr. Ikawati, Zullies,Apt. 2009. Farmakoterapi
Penyakit Sistem pernfasan. Yogyakarta : Pustaka Adipura.
Somantri, Irman.2008.Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.Jakarta:Salemba
Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar